DimasBagus.com – Kajian yang ditampilkan pada edisi ini, masih mengulas bab pengetahuan mengenai mati dan praktik mati ngelaras akhirat. Banyak yang merasa takut, namun ada yang menyambut gembira. Yang gembira karena terbebas dari belenggu materi.
Bagi orang-orang yang beriman, yang jiwanya dekat dengan Tuhan, kematian disambut dengan suka cita. Hatinya tertawa terbahak-bahak. Mengapa kematian disambut dengan tertawa? Mati kok malah tertawa?
Tertawa saat menyambut kematian, tentunya karena kematiannya itu diridai Allah. Mati atas kehendak Allah. Mati yang dikehendaki Allah merupakan pintu perjumpaan dengan-Nya. Dan, perjumpaan itu juga atas kehendak-Nya. Sebagai manusia hanya menjalani.
Tentu saja, tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa dirinya tertawa saat menyambut kematiannya. Karena yang tertawa adalah jiwanya. Orang yang hidup hanya melihat ekspresi wajahnya, terkadang ada yang tersenyum. Terkadang saat sujud dalam salat. Ada juga dalam tafakur. Tidak ada yang memahami karena mati merupakan rahasia. Yaitu rahasia tentang ruh.
Orang-orang yang menekuni kebatinan, tidak hanya memahami kaweruh tentang mati. Namun ingin ngelaras, serta merasakan bagaimana rasanya mati. Maka di sini lantas dilakukan praktik-praktik menjalani mati. Mati sakjerone urip. Ngeracut, ngerogo sukma, dan lainnya.
Praktiknya dengan bermeditasi, semadi, atau tafakur. Kondisi bersemadi, ia duduk bersila, mata terpejam, kedua tangan bersedekap atau diletakkan di atas lutut, atau bersikap seperti bunga tunjung, atau lainnya. Pikiran dikosongkan, kondisi tubuh dilemaskan. Pendengaran ditulikan, pengrasa juga dimatikan. Berikutnya mengatur keluar-masuknya napas.
Melihat diamnya orang bersemadi, yang tak bergerak sama sekali, tak mendengar apa-apa, kayaknya seperti orang mati. Namun, hakikatnya ia bergerak. Yaitu berjalan menuju hakikat. Di dalam ajaran kebatinan, orang bersemadi yang diam itu, yang bersangkutan ada yang tidak membaca apa-apa. Ia hanya mengikuti ilining rasa (mengalirnya rasa). Menggembalakan jiwanya. Namun, orang-orang sufi di dalam tafakur, ia berzikir dengan zikir ruhani. Yaitu zikir yang tanpa kata-kata, tanpa suara. Hanya batinnya sendiri yang mengucap zikir dan mendengarkan. Pelajarannya, yang orang-orang pangudi kaweruh menyebut ‘wirid’, mengikuti keluar masuknya napas. Ketika menghirup napas batinnya menyebut Huu…. ! dan ketika menghembuskan napas menyebut Allah….! Jadi, yang zikirnya “Huu Allah…Huu Allah” yang dilakukan terus-menerus.
Priktik semadi semacam ini, tidak hanya sekali atau dua kali, namun terus-menerus. Setiap ada kesempatan, selalu melakukan semadi. Waktu yang paling baik adalah pada malam hari. Mengapa malam hari? Karena malam adalah waktu yang kosong. Saat semua makhluk pada terlelap di alam mimpi, kita yang berjaga. Saat berjaga, kita gunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Maka, lalu-lintas komunikasi berjalan lancar tanpa hambatan. Seperti jalanan pada tengah malam, lengang. Hanya sedikit kendaraan yang lewat. Tentunya perjalanan cepat sampai. (Selengkapnya baca Tabloid posmo edisi 751)
Sumber: [wp_colorbox_media url=”http://tekno.kompas.com/read/2014/11/19/06020317/Nokia.Lahir.Kembali.Lewat.Tablet.Android.N1″ type=”iframe” hyperlink=”Kompas.com”]